Anjing itu nampaknya baru keluar dari ruangan kelas yang sontak membuat mahasiswi di sekeliling gedung terkejut. Mereka semua berkata, "Anjing ! Anjing!" Bukan suatu pemandangan aneh seekor anjing mondar - mandir di kampus , tidak perlu berteriak seperti itu, bukan? Ku perhatikan anjing itu berjalan menghampiri kolam yang sunyi. Tidak, dia menghampiriku, terbatuk - batuk hingga ada seorang pria berseragam melemparinya dengan batu tepat dikakinya, membuatnya pincang. Anjing itu semakin dekat denganku, meminta pertolonganku sambil menangis.
Kakiku bergerak sendiri untuk duduk ditanah bersama binatang yang mempunyai hidung besar berwarna hitam penuh kotoran dan mulutnya yang bau sampah. Aku tak tahu kenapa, aku memeluk anjing ini seakan tak pernah bertemu kekasihku seminggu yang lalu, meskipun bulu anjing ini penuh lumpur dan darah. Tanpa terasa hatiku perih dan aku menangis. Sungguh aku rindu, anjing ini sering lewat di depan rumahku, terbatuk-batuk hingga akhirnya mati.
***
Berapa yah umurku saat itu? Ah, aku sulit mengingatnya....
Keluargaku hanya ada Paman, Bibi, Kakakku dan aku. Ayah dan Ibuku pergi ke Afrika, bekerja mengurus satwa liar. Keluargaku dipandang keluarga aneh di lingkunganku. Padahal menurutku, mereka yang berkata seperti itu yang tidak memahami kami. Manusia memang begitu, sekali mereka tidak menemukan kecocokan, mereka akan menjauh. Semua itu awalnya cuma karena kami memiliki garasi disamping rumah, sementara rumah kami berada digang sempit yang cuma bisa dilewati satu sepeda roda dua. Mereka bilang kami gila. Mereka bilang kami memelihara benda aneh disana. Payah, mereka yang tidak punya mimpi.
Seekor anjing herder berwarna cokelat hitam dan berhidung besar dipungut oleh kakak perempuanku sore itu. Kabarnya, anjing itu dibuang pemiliknya karena telah menggigiti kaki majikannya hingga putus. Kakakku sangat baik pada Zuko, begitu kami memanggilnya, kakakku juga mengumpulkan uang hasil menjahit boneka vodoo untuk membeli kandang Zuko. Setiap pagi aku , kakakku dan Zuko bermain di suatu lapangan, kakakku akan melempari Zuko daging mentah dan Zuko akan memakannya dengan lahap. Aku cuma bisa memberi perintah kecil pada Zuko sperti diam, duduk, atau berputar. Saat itu Zuko masih kecil.
Aku pernah melihat kakakku memandikan Zuko dengan air bunga yang selalu dia nyanyikan setiap malam disela - sela tidurku. Kalau sudah dimandikan, bulu - bulu Zuko lembut dan harum sekali. Hingga tanpa ku sadari, Zuko telah lebih besar dari aku. Bermain dengan Zuko seharian hingga lelah dan tertidur disampingnya sudah menjadi ritual di masa kecilku. Saat bangun, ia masih ada di sana, meminjamkan tubuhnya untuk aku sandarkan. Bola matanya yang hitam pekat menatapku seperti berkata “Mimpi apa kamu?”.
Benar kata kakakku, malam itu sebelum tidur, kami sempat mengobrol.
"Anjing adalah teman."
"Anjing adalah teman. Apa anjing juga nanti ada di sekolah seperti teman - temanku, kak?"
"Di sekolah cuma sebentar. Bukan seperti itu."
"Teman - temanku semua di sekolah kak, kami duduk menulis di meja yang sama lama sekali rasanya, mereka sering menghina lukisanku. Huh!"
"Mereka bukan teman. Zuko itu teman sebenarnya, anjing adalah teman terbaik manusia."
"Tapi, Zuko bukan manusia."
"Meskipun begitu, mereka yang akan selalu berada disampingmu, siap menunggu dan menepati janji meski tidak dia buat. Lebih manusiawi daripada manusia. Makanya kita harus baik pada anjing."
Padahal aku masih kecil saat itu, tapi rasanya aku sudah mengenal perasaan sayang. Bukan pada lawan jenisku , tapi pada Zuko. Jika hujan, hatiku selalu gelisah. Bagaimana jika badai menghempas kandangnya dan membuatnya kebasahan? Bagaimana kalau ia kedinginan? Zuko juga takut hujan dan petir sama sepertiku. Sesudah hujan reda, aku bergegas ke garasi membawa handuk kecil untuk mengeringkan tubuhnya. Pernah satu waktu ketika kami bermain, hujan datang dan kami berlari ke rumah. Paman dan Bibi sedang pergi lalu kakakku tertidur di kamarnya,meninggalkan kami berdua di beranda. Aku merantai Zuko di gagang pintu. Aku mengkhianatinya. Karena kedinginan dan takut petir, aku pergi ke kamar dan tidur, meninggalkannya sendirian dengan leher terantai.
Aku mimpi buruk, mimpi masuk ke dalam lubang kloset. Hingga aku dibangunkan oleh Bibi yang marah karena menemukan Zuko ada di depan pintu rumah dalam keadaan basah dan bau. “Sudah kubilang, anjing setan ini cuma boleh ada di kandangnya!”. Paman dan Bibi tak pernah mau membiarkan ada anjing di rumah. Mereka bilang haram. Padahal aku sudah tanya ustad, yang haram itu liurnya. Aku kan tidak mencumbunya.
"Tadi, aku kehujanan sama Zuko, Bi."
"Kau bisa meletakkannya di kandangnya!"
Kakakku pun berlalu sambil memeluk Zuko yang menggonggong tak berhenti. Kakakku menyuruhku untuk diam lalu dia berkata pada Bibi.
"Maaf ya, Bi. Aku yang lupa menaruhnya di kandang.." ujarnya.
"Anjing! Kenapa kau malah membawanya ke kamar?!" jerit Bibi.
"Di luar itu dingin, Bi."
"Dia punya kandang, kan!"
"Tapi, kandang itu kecil, tidak muat untuk melindungi Zuko."
"Biar saja dia kedinginan, nanti juga dia bermain di api neraka!"
"Atau kubiarkan saja dia menggigit mulut Bibi sampai lepas!"
PLAK!!!!!
Bibi spontan menampar kakakku yang selama ini dianggapnya pembantu di rumah. Zuko terkejut dan meloncat dari pelukan kakakku. Aku menahan tangis dan memeluk anjing peliharaanku erat - erat.
Justru manusia sepertimu yang akan jatuh ke lubang neraka ...
Sebagai tanda minta maaf, aku hendak mengajak Zuko bermain, ia tak mau. Aku menarik rantainya dan mengajaknya berjalan tapi ia masih tetap terduduk. Kakakku berkata bahwa ini bukan saat yang tepat untuk Zuko bermain. Kenyataannya, ia tak mau bermain karena ia tahu ia tak akan bisa lagi bermain denganku. “Anjing itu tahu kapan waktu mereka tiba...” Kami meninggalkannya sendirian. Aku dan kakakku tidak bisa berbuat banyak Mungkin di masa depan aku akan kuliah di jurusan kedokteran hewan agar bisa berbicara bahasa anjing, dan kakak yang akan menjadi susternya. Tapi untuk saat ini, akami hanya bisa memberinya makan setiap pagi dan sore. Bibi berkata untuk tidak boleh dekat-dekat dengan Zuko.
Para tetangga rupanya ketakutan melihat badan Zuko yang setiap hari makin besar dan semakin menghitam. Bibi sempat menangis dan mengatakan bahwa aku dan kakakku bukan penyihir atau pemuja setan.Bodohnya Bibi, kenapa ia harus menangis? Bukankah penyihir itu mempunyai seekor kucing, bukan anjing?
Kemudian aku hanya bisa memberi makan Zuko di depan pintu garasi. Hari - hari pun berlalu dan aku hanya bisa melihat mangkuk makanan Zuko, jika makanan dalam mangkuk itu habis, aku akan menggantinya dan begitu seterusnya.
Waktu itu tiba. Makanan di mangkuknya masih penuh. Aku masuk dan melihatnya berada di dalam kandangnya. Sendirian. Meringkuk. Aku peluk erat tubuh yang sering aku sandari, berharap ia akan membuka matanya lalu berkata “Mimpi apa kamu?"
Aku peluk erat kepala Zuko hingga aku menangis kencang. Cuma dia sahabatku. Berbulan - bulan telah kulewati bersamanya . Ayah dan Ibu pergi meninggalkanku , dan kini anjingku yang meninggalkanku.
Aku dan Zuko bercumbu. Ketika tak ada orang yang peduli denganku, dengan mayat anjing ini, dunia terasa menjauh .Tangisanku terhenti, suara lirih anjing perlahan menyadarkanku. Zuko membuka matanya, dan berkata “lihat ke belakang”. Sontak aku melihat kebelakang dan aku melihat seorang wanita muda menghampiri anjing tersayangku lalu kemudian mengecek denyut jantungnya. Ternyata, wanita muda tersebut seorang dokter hewan. Lalu wanita muda yang mempunyai bola mata yang sama seperti mataku kabur menjauh dan membawa Zuko, berteriak meminta tolong kesana - kemari sambil menangis.
Aku berlari mengejar hingga ada mobil mengenaiku lalu seketika gelap...
****
Entah untuk keberapa kalinya. Kudengar lagi dengan jelas di telingaku. Di tahun 2014 ini masih saja semua orang berteriak menganjingi masing-masing. Sepertinya anjing telah menjadi puisi yang mendiami hati mereka turun temurun. Setiap ucapan mereka tak lepas dengan anjing di dalamnya. Anjing seperti menjadi bentuk dari kehangatan mereka ketika memanggil satu sama lain. Anjing menjadi budaya dan bahasa, yang mereka pikir luar biasa , yang mereka pikir menjadikan mereka seperti layaknya orang dewasa.
Di sini aku masih duduk memeluk anjing berhidung besar berwarna hitam yang penuh kotoran.. Muntah dan mual datang menghampiriku. Aku berdiri dan menggendong anjing ini. Zuko tersayangku telah kembali.
"Ayo teman, jangan nangis! kita pulang dan tinggalkan dunia yang gila ini."